Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ramadhan di Negara Napoleon

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Assalamu’alaikum Wr. Wb

 

Ramadhan di Negara
Napoleon

 By : Amrul Fajri
******

Tak pernah ada dalam bayanganku bahwa mampu melewati Sembilan hari pertama Ramadhan tahun ini, dan aku baru melakukannya tahun ini di Paris. Tak mudah menjalankannya, jikalau bukan di tanah air tercinta. Jauh dari keluarga dan tanah air merupakan pukulan batin yang sangat terasa perih, apalagi Ramadhan tahun ini, aku harus menjalaninya sendiri di sini. Ditempat yang tidak pernah terdengar panggilan azan, dan tak pernah terdengar suara beduk saat berbuka puasa.

Jujur, terlalu berat memang menjalankan ibadah puasa di Paris. Negara yang mayoritasnya non-muslim. Kaum minoritas muslim harus berjuang sendiri untuk melangsungkan hidupnya di bawah kungkungan kaum mayoritas non Muslim. Salah satunya aku.

Menjalankan ibadah puasa di Paris, berbeda sekali dengan di Indonesia, misalnya lama waktu dalam berpuasa, di Indonesia hanya menahan kurang lebih dua belas jam, sedangkan di Paris, periode menahan jauh lebih lama. Hampir tujuh belas jam semenjak waktu imsak, kurang lebih menjelang pukul lima pagi, dikarenakan Ramadhan tahun ini jatuh bertepatan dengan musim panas, yang di mulai dari akhir bulan Juni hingga akhir bulan Agustus setiap tahunnya.

Tak banyak hal yang bisa kulakukan di Paris, Sudah Sembilan hari ini aku menghabiskan waktu ku bertadarrus saja di dalam Apartemen, setidaknya sudah sembilan juz ku baca, tak sia-sia. Meskipun sempat juga rasa bosan menyelinap masuk dalam jiwaku, dan aku tak pernah mengubrisnya. Kulirik keluar dari jendela Apartemen, ku lihat suasana diluar, sepertinya cukup panas.

Aku adalah seorang Reporter, bekerja di salah satu Pertelevisian swasta, tujuanku berkunjung ke Paris untuk meliput suasana Ramadhan di Negara mayoritas non muslim ini, sekaligus untuk mencari ide dalam penulisan novelku yang hampir rampung. Awalnya aku menolak kunjungan ke sini, setelah kupikir-pikir lama, lalu aku mengangguk setuju, karena kebetulan aku memiliki seorang teman muslim yang tinggal di Paris, dia berdarah Pakistan, dan sudah sebelas tahun tinggal di Paris, karena tuntutan perkerjaan. Dia bekerja di sebuah pertelevisian swasta di Paris sebagai Reporter, kami berkenalan ketika di Indonesia, waktu dia meliput Bencana Tsunami di Aceh. Karena atas rekomendasinya aku berangkat ke Paris, segalanya dia yang tanggung, termasuk Apartemen tempatku tinggal.

Sore ini dia berjanji akan ke sini, mengajakku mengelilingi setiap sudut kota Paris, menceritakan tentang sekelumit kisahnya selama tinggal di Paris, menceritakan tentang Budaya masyarakat Paris, Ekonomi dan sosial, dia juga berjanji akan mengajakku menikmati Suasana sore di salah satu tujuh keajaiban Dunia, yaitu menara Eiffel, dan hanya ada di Paris. Begitu ceritanya ketika aku menelfonnya beberapa waktu lalu.

#*#*#*#*#*#

Kami sudah sampai di depan menara Eiffel, aku sama sekali tak tahu seluk beluk kota Paris, setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam lima belas menit, dari Apartemen tempat ku tinggal. Aku di jemput oleh Mufti menggunakan mobil pribadinya. Ada seorang perempuan bercadar bersamanya, sepertinya aku tak mengenalnya, selama di mobil aku belum sempat bertanya kepada Mufti tentang perempuan bercadar bersamanya itu.

Menakjubkan, mungkin itu kata-kata pertama yang terlontar dari mulutku, setelah kusaksikan dengan mata telanjang apa yang sedang aku lihat, nuansa romantis dan keindahan kota Paris sangat terasa, ketika langkah kaki berhenti tepat di hadapan menara kebanggaan rakyat Perancis itu. Jujur, aku seperti tersihir dengan keindahan menara itu, agak berlebihan sih, tapi itulah ekspresi yang timbul. Kulirik Mufti, dia tersenyum. Senyum khas pemuda Pakistan, ditambah lagi dengan jenggot tipis di dagunya.

“Bagaimana?” Tanyanya.

“Luar biasa” Sahutku, sembari mataku terus menatap ujung menara Eiffel.

“Kau tahu, sejarah Menara ini, Yusuf”

“Eumm…tahu, sedikit sih” Sahutku, sambil tersenyum

“Menara ini dibangun pada tahun seribu delapan ratus delapan puluh tujuh dan selesai pada tahun seribu delapan ratus delapan Sembilan kan, dan menara ini siap dalam jangka waktu dua tahun oleh seorang arsitek bernama Gustavel Eiffel, kegunaan menara ini kalau nggak salah, sebagai menara pengamatan dan menara penyiaran radio, dan Tinggi 324 meter atau 1,063 kaki, dan Atapnya 30.065 meter atau 98,638 kaki, dan menara ini telah menjadi ikon global prancis dan salah satu struktur terkenal di dunia, setiap tahunnya jutaan wisatawan berkunjung kesini. Kurang lebih begitu informasi yang kudapat tentang menara ini” aku mulai bercerita, kulihat Mufti, dia tersenyum.

“Eumm… Ternyata kau pengamat menara Eiffel juga ya?” sahutnya dengan logat Pakistannya yang kental.

“Mungkin begitulah kira-kira, mengunjungi menara Eiffel adalah salah satu inpianku sejak kecil”

“Bukan hanya Eiffel yang ada di Paris, masih banyak tempat lain yang wajib kita kunjungi. Insya Allah aku memiliki waktu banyak Ramadhan ini, dan aku siap menemanimu untuk mengelilingi setiap sudut kota Paris, kurasa aku sudah berjanji sebelumnya” ujarnya, sambil terkekeh.

“O…ya, Yusuf. Kenalkan ini Istriku Adriana” Aku mengulumkupkan kedua tanganku di dada, begitu juga dengan Adriana.

“Dia asli perancis, dan Alhamdulillah, dia seorang muallaf, kami menikah baru dua bulan, mohon doanya, ya”

“Barakallah hulakuma wabaraka a’laikuma wajaa bainakhuma fikhair,” sahutku, kini rasa penasaranku terhadap perempuan itu buyar sudah, ternyata dia Istri Mufti.

“Sepertinya, waktu berbuka hampir sampai, maaf disini tak ada pasar Ramadhan seperti di Indonesia” Jelas Mufti sambil terkekeh

“Aku mengerti” Balasku, sambil tersenyum.

kami berbuka puasa di sebuah Restoran kebab khas Mesir milik seorang muslim Mesir, tidak terlalu jauh dari taman menara Eiffel, kebetulan restoran ini, langganan Mufti selama tinggal di Paris, cukup lama setelah kami berbuka puasa. Tidak ada tanda-tanda suara azan magrib dikumandangkan, seperti kebiasaan terjadi di Indonesia. Tiba-tiba aku jadi rindu ke tanah air Indonesia, dan ini resiko terbesar dalam hidupku tinggal di Negara Eropa.

“Disini tak ada yang namanya suara azan, jikalau kamu ingin shalat, di atas tersedia tempat untuk shalat” Ujar pemilik restoran dari Mesir itu.

Sempat terfikir olehku untuk kembali ke Indonesia, bertahan di Eropa memang berat, tak sebebas menjalankan ibadah di Negara sendiri, namun ini kenyataan yang harus ku jalani, selama sebulan penuh aku akan disini. Berkenalan dengan Mufti Jafar Hussain merupakan sebuah berkah, dia seorang muslim Pakistan yang taat, penghafal Al-Qur’an dan penghafal ratusan Hadist.

#*#*#*#*#*

“Beginilah atmosfer di Paris selama Ramadhan, Yusuf. Tak ada perbedaan Ramadhan dengan bukan Ramadhan, kita selaku muslim sejati sepatutnya menjunjung tinggi perintah yang sudah ditetapkan kepada kita, sebenarnya banyak sekali peluang untuk mengerjakan kemaksiatan di negara ini, tak ada yang melarang, sama sekali tak ada yang melarang, kita bebas melakukan apa saja, banyak club malam berjejeran di sini, kita tinggal pilih, mana yang kita sukai, namun jika kita merasa ada yang diawasi tentu kita tak akan pernah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Allah” begitu, sedikit informasi yang disampaikan Mufti kepada ku seusai kami shalat magrib berjamaah di restoran kebab langganan Mufti tersebut.

“Yusuf, tentu kamu tahu, tak mudah menjadi muslim sejati di Eropa, banyak sekali cobaan dan rintangan yang siap menghadang kita, membuat kita lalai dan tergoda dengan glamornya gaya hidup Kota Paris. Banyak sekali saudara seiman dengan kita yang tergoda dengan keadaan kota paris, hingga mereka meninggalkan Islam dan mengikuti budaya Eropa, bahkan tak jarang pula kita temui disini, banyak muslim yang melalaikan puasa, hanya alasan bekerja. Jadi jangan heran dengan semua itu.” Aku hanya mengagguk, dan faham atas atas ucapan Mufti, tentu itu tak membuatku heran, jangankan di Paris, di Indonesia pun banyak seperti itu.

“Jika kamu, sanggup bertahan hidup di Eropa, maka kamu akan sanggup bertahan hidup di kota manapun kamu berada” lanjut Mufti, aku hanya menggangguk.

Pembicaraan aku dengan Mufti, semakin mengenal akan suasana muslim dan Ramadhan di Paris, ini akan menjadi bahan berita untuk melaporkan ke tanah air. Jujur aku sangat merindukan tarawih dan tadarrus yang menghidupkan mesjid-mesjid selama malam bulan suci Ramadhan, tapi bukannya di Paris tak ada mesjid, hanya saja mesjid-mesjid di Paris lebih sedikit dan tertutup. Mesjid di Paris termasuk bangunan paling langka di temui, memang mesjid tidak termasuk bangunan yang mudah mendapatkan perizinan, sehingga hanya berupa sebuah ruangan kecil yang sengaja di jadikan sebagai tempat beribadah, tidak ada suara azan dan pengajian.

“Tadinya, aku berharap sekali untuk tarawih berjamaah bersama kalian.” Ujarku kemudian,

“Lain kali. Insya Allah, kita akan tarawih bersama” sahut Mufti, Kulihat Adriana, sepertinya dia tersenyum di balik cadar yang dikenanya.

“Senang bisa bertemu dengan kamu Adriana” ucapku, menggunakan bahasa Perancis, Ia mengangguk.

“Kami juga senang bertemu dengan kamu, orang Indonesia” sahutnya lembut, dengan logat Perancisnya.

Lama sekali kami larut dalam obrolan malam ini, banyak cerita yang kudapatkan dari sepasang suami istri baru menikah itu, mulai dari kisah Adriana, kebetulan bertemu dengan Mufti di sebuah toko buku, yang kebetulan waktu itu masih menganut agama Kristen yang taat, dan tak mengenal hijab, lalu mendapatkan hidayah, hingga ia memeluk Islam di Mesjid La Grande Mosquee De Paris. Hingga di pecat dari pekerjaannya karena memutuskan untuk berhijab, tapi tak membuatnya kendur semangat dalam berhijab, justru Adriana semakin nyaman dengan menggunakan hijab. Menurutnya, menggunakan hijab cara Islam menjaga kehormatan wanita muslim, jelas-jelas Allah lebih memuliakan dan menjaga kehormatan wanita muslim. Selanjutnya, semakin sukarnya mencari pekerjaan di Paris, meskipun dia berketurunan Perancis asli. Berhijab merupakan masalah terbesar di Paris, wanita berhijab di cap kuno, ketinggalan zaman, seperti orang hamil, dan bahkan sampai di Klaim wanita berhijab adalah terorisme.

Perancis memang negara yang sangat otoriter lagi kejam terhadap ummat muslim, pada sebelah April 2011, Perancis menjadi negara pertama di Eropa yang menerapkan larangan penutup aurat penuh bagi perempuan, dibawah undang-undang tersebut, setiap perempuan Perancis atau warga asing yang berada di jalan ataupun di taman, menggunakan cadar atau penutup aurat akan dihentikan dan dikenakan denda. Begitu cerita Mufti, padaku.

Meskipun Perancis termasuk negara nomor dua Islam terbesar di Eropa, tetap saja pemerintah melarang wanita perancis dan warga asing untuk berhijab. Namun, walaupun demikian, wanita Muslim Perancis tak sedikitpun menyurutkan semangat mereka untuk terus konsisten dalam berhijab, bahkan tak takut bila di pecat dari pekerjaannya. Luar biasa.

Berkali-kali aku mengucap tasbih, ketika mendengarkan kisah perempuan muslim di Paris dari Adriana, sempat terbesit di benakku. Perempuan muslim saja yang tinggal di Negara penuh penindasan terhadap kenyakinannya, namum begitu mempertahankan keyakinannya itu, berbeda sekali dengan perempuan Indonesia, mereka lebih sedang mengumbar auratnya tanpa malu didepan umum, padahal Indonesia mayoritas muslim terbesar di dunia. Seolah-olah bagi mereka, berhijab bukan sebuah kewajiban.

“Kurasa kita harus segera pulang, malam sudah semakin larut” ujar Mufti sambil bangkit dari tempat duduknya dan memanggil pemilik restoran. Sedangkan mataku terus menatap ke ujung Eiffel, cukup indah Eiffel bermandikan cahaya di malam hari.

Kami keluar dari Restoran Kebab itu, setelah Mufti membayar seluruh Makanan kami, sambil kubayangkan hari esok, kami akan berkunjung ke Mesjid La Grande Mosquee De Paris, merupakan “mesjid Agung Paris” yang terletak di Arondisemen Ve, dan aku tak sabar untuk menyaksikan keindahan salah-satu Mesjid termegah di Paris. Mesjid bersejarah bagi Mufti dan Adriana, dan mesjid bersejarah bagi kaum Yahudi Eropa. Begitu kata Mufti dan Adriana.

“Insya Allah, Sejarahnya akan kita cerita besok, saat kita sampai di mesjid itu” berjuta pertanyaan mulai bermunculan di otakku, apa istimewanya Mesjid itu bagi kaum Yahudi Eropa? dan sejarah apa yang pernah terjadi di sana.

“Setelah itu kita akan Louvre, La defense, Monumen Arc de Triomphe,.”

“Louvre, maksud kamu Museum Louvre, Mufti?”

“Ia, Museum Louvre, Museum yang terkenal dengan lukisan Monalisanya, kamu tahu Yusuf, selain terkenal dengan lukisan Monalisanya, Museum Louvre juga menyimpan sebuah rahasia besar di dalamnya, apa kamu ingin tahu?” Aku mengagguk.

“Insya Allah, kita pasti akan singgah di Museum Louvre dan menguak sejarah Islam di sana” sahut Adriana.

Aku semakin penasaran dengan nama-nama tempat yang di sebutkan Mufti. Jujur, baru kali ini aku mendengar nama-nama tempat itu, dan yang lebih penasaran lagi, tentang sejarah islam yang tersimpan di dalamnya. Bagaimana bisa, Negara Eropa yang dikenal non muslim terbesar di dunia, ternyata menyimpan sejarah besar Islam.

#*#*#*#*#*

Berpuasa di Paris memang membutuhkan kesabaran yang ekstra ampuh, pagi itu, aku mencoba berjalan-jalan di sebuah taman dekat Apartemenku, guna untuk mengusir kebosanan, mendekam di Apartemen terus menerus tidak baik juga untuk kondisi mentalku, begitu pikirku,

Benar seperti ucapan Mufti, di Paris. Ramadhan bukan Ramadhan sama saja, dan aku menglihat buktinya dengan mata kepalaku sendiri, banyak di pinggir-pinggir jalan menawarkan makanan bermacam-macam aroma dan jenis. Dan yang lebih terkenal kalau di Eropa itu, adalah daging Babi yang super enak dijual dengan harga murah, begitu aku mengetahuinya dari seorang pria Paris yang sempat bertemu dengan ku, ketika di taman pagi itu.

Setiba di Apartemen, aku langsung membuka laptop, ada sebuah E-mail dari Mufti,

Assalamualaiku, Akhi Yusuf, saya bersama Adriana sangat-sangat meminta maaf, karena kami tidak bisa menemanimu mengelilingi Paris seperti janjiku beberapa waktu lalu, bukannya saya mau mengingkari janji, Ayahanda saya sedang sakit parah di Pakistan, dan saya harus segera pulang siang ini, sudah sebelas tahun saya tak menglihat orang tuaku, dan aku sangat-sangat merindukan mereka, sekali lagi, kami sangat-sangat meminta maaf yang sedalam-dalamnya, kalau Allah masih mempertemu kita nantinya, kita pasti akan mengunjungi Museum Louvre, La defense, Monumen Arc de Triomphe, dan Mesjid La Grande Mosquee De Paris, besama-sama.

Semoga Akhi Yusuf senang dengan suasana Ramadhan di Paris, o iya, Adriana nitip salam buat kamu, Sekian.

E-mail singkat dari Mufti sedikit membuatku kecewa, namun itu bukan kemauannya, aku menutup laptop dengan hati berat, Hilang segala inginku untuk mengunjungi Louvre, La defense, Monumen Arc de Triomphe dan Mesjid La Grande Mosquee De Paris.

SEKIAN

Teuku Taufik
Teuku Taufik Hi, Taufik disini dan Saya adalah seorang pembelajar yang menyukai kegiatan Blogging, Digital Marketing, Traveling

Post a Comment for "Ramadhan di Negara Napoleon"